• WHO-AM-I Boy (Sebuah cerita) Part 2

    CHAPTER 1 (Part 2)


    Aku menghabiskan kebanyakan malam Sabtu bersama Kiersten, dan berhubung kami sama-sama tidak punya kencan, kami selalu menyibukkan diri dengan melakukan hal-hal seperti mengunjungi restoran orangtua Kiersten dan makan gratis disana, pergi ke pantai, mengunjungi kapal Paman Sam―begitulah kami memanggilnya―di pelabuhan. Ia adalah seorang pria di usia enam puluhan dengan rambut dan jambang lebat abu-abu dan sangat ramah pada anak-anak tidak terkecuali kami. Aku dan Kiersten bertemu dengannya saat kami duduk di tingkat pertama. Orangtua kami mengajak kami mengunjungi festival musik Bluegrass di Morehead City dan disanalah untuk pertama kalinya kami berkenalan dengan Paman Sam. Paman Sam bahkan memberi tur singkat dengan kapalnya yang menurut ceritanya berumur lebih tua dari umurnya dan telah mengarungi berbagai belahan bumi. Bagi telinga gadis-gadis kecil seperti kami saat itu, apapun yang diceritakan Paman Sam sangat menarik dan kami selalu mempercayainya meskipun bila diingat-ingat lagi sekarang, aku meragukan bagian dia bertemu dengan putri duyung dan monster laut di perairan Norwegia.
    Tapi kali ini aku dan Kiersten tidak mengunjungi Paman Sam ataupun nongkrong di restoran orangtua Kiersten (dan memberinya kesempatan mencari perhatian pada pelayan baru yang ditaksirnya di sana). Kami pergi menonton film, dan Kiersten tidak mengijinkanku memilih film sebagai hukuman aku telah mendorongnya ke dalam kolam. Sepertinya itu tidak menjadi masalah kecuali film yang ia pilih adalah semacam drama romantis dengan alur yang berbelit-belit dan terlalu banyak bumbu cinta―kalau kau tahu maksudku. Aku lebih senang menonton film action atau film penuh teka-teki seperti satu film yang pernah diperankan Matt Damon tempo hari. Sesuatu yang bisa memacu adrenalin, tidak mudah ditebak, dan membuat kita sedikit berpikir, dimana sangat berkebalikan dengan Kiersten yang lebih senang tema menemukan cinta sejati dalam romansa kehidupan sehari-hari. Menurutku menemukan cinta sejati di antar desingan peluru dan peperangan antara dua kubu yang berlawanan lebih menarik.
    “Jika ada vampir seseksi itu, aku mau digigit saat itu juga,” bisik Kiersten padaku sementara matanya menatap layar penuh takjub, “di bagian manapun tubuhku yang dia mau.”
    Yeah, hanya kalau mereka mau menggigitmu. Tapi tentu saja, aku tidak mengatakannya keras-keras.
    Diam-diam aku sudah berniat tidur sampai film selesai saat ponsel di saku celana jinsku bergetar. Layar ponsel menampilkan nama kakak laki-lakiku, Rick.
    “Rick?” bisikku menjawab panggilan dan menangkupkan tanganku di sekitar mulutku.
    “Cam? Dimana kau?”
    “Menonton film. Ada apa?”
    “Film apa?” Rick balik bertanya.
    “Tentang drakula. Aku tidak tahu.”
    “Vampir!” Kiersten menyodok lenganku dengan sikunya. “Vampir yang sangat seksi.”
    “Siapa itu? Apa itu Kiersten?” tanya kakakku lagi.
    “Yeah, masih Kiersten yang lama. Ada apa?” tanyaku tak sabar.
    “Ada apa?” ulang kakakku dalam nada yang seolah-olah aku baru saja menghinanya. “Kau lupa hari ini?”
    Aku mengingat-ingat. “Apa? Ada apa hari ini?”
    “Ssst!” sebuah suara entah darimana datangnya yang kusadari ditujukan untukku.
    “Camille Nicholson, aku tidak percaya kau melakukan ini pada kakakmu.”
    “Rick, ada apa?” Aku harus menekan suaraku agar tidak meneriakkannya.
    “Apa itu Rick?” mata Kiersten melebar ke arahku. Ia sudah naksir kakakku sejak lama. Mungkin sejak ia berumur sepuluh tahun.
    “Aku tidak percaya kau melupakannya,” kata Rick padaku. Kadang aku merasa ingin mencekik leher kakakku.
    “Rick. Kalau kau tidak segera mengatakan padaku apa yang terjadi aku akan mendatangimu dan mematahkan rahangmu. Oh yeah, tentu saja kalau aku bisa saja berteleportasi ke New York dan menemuimu―”
    “Sssssstttt!” Kali ini tidak hanya disuarakan oleh satu orang.
    Dan kemudian aku menyadari sesuatu. Aku menepuk keningku. “Ya Tuhan, Rick! Aku lupa. Aku benar-benar lupa kau datang hari ini! Kau sudah di rumah?”
    “Tentu saja aku sudah di rumah, bodoh.” Lalu kudengar suara ibuku di latar belakang menanyakan ‘apa itu adikmu?’ “Cepat pulang. Aku punya sesuatu untukmu sebelum aku berubah pikiran.” Aku bisa membayangkannya tersenyum lebar saat mengatakannya. Ia menutup sambungan. Begitu juga denganku.
    “Kita harus pulang,” desisku pada Kiersten dan mulai menyandang tas selempangku.
    “P─pulang? Tapi kita sampai pada bagian terpenting. Mereka baru saja akan berc─”
    “Maaf, Miss, bisakah Anda tenang selama film diputar?” seorang petugas wanita sudah berada di sampingku.
    “Tidak masalah. Aku sudah akan pergi dari sini.”
    “Cam, ap─apa─Aku tidak mau pergi dari sini. Tidak sampai film selesai,” kata Kiersten keras kepala. Ia mengenyakkan punggungnya ke kursi dan menatap layar lurus-lurus.
    Aku sangat tahu apa yang akan membuatnya bergerak dari sana. “Rick pulang,” kataku tanpa mengecilkan suaraku. Tepat seperti dugaanku, matanya beralih menatapku, menimbang-nimbang sebentar apakah aku berkata jujur.
    “Kau serius?” ia mencondongkan tubuhnya ke arahku.
    “Dia tadi menanyakanmu,” kataku, melebih-lebihkannya, meskipun sebenarnya ia tidak benar-benar menanyakan Kiersten, tapi aku tidak peduli selama itu satu-satunya alasan agar Kiersten mau meninggalkan film yang sangat membosankan ini. Kalau saja kami berkendara dengan mobilku aku hanya perlu mengatakan “kau naik bus saja kalau begitu”. Masalahnya, kami tidak menggunakan mobilku.
    “Benarkah? Kau tidak bohong?” seulas senyum girang muncul di wajahnya.
    “Miss, kalau Anda tidak―”
    “Oh tenang saja, kami akan pergi dari sini,” potong Kiersten dan mendorong punggungku hingga aku nyaris terjerambab di gang di antara deretan tempat duduk.
    “Rick menanyakan aku? Kapan dia pulang? Kenapa tidak memberi kabar? Apa dia baik-baik saja?” berondong Kiersten begitu kami keluar studio.
    “Kiersten, bagaimana aku bisa tahu kabarnya kalau aku belum bertemu dengannya,” kataku.
    “Kapan dia pulang?” tanyanya lagi, jelas tidak mendengarkanku.
    “Malam ini.”
    “Seharusnya kita menjemputnya di bandara.” Kiersten sama sekali tidak berusaha menyembunyikan nada girang dalam suaranya.
    “Yeah, kenapa tidak kau saja yang menjemputnya?”
    “Rick tidak mengabariku.”
    Ya ampun. Aku kan juga tidak benar-benar menyuruhnya menjemput kakakku.
    Rick selalu ingin terlibat dalam film. Tapi bukan sebagai aktor, melainkan menjadi orang yang berada di balik layar. Setelah lulus SMU dia mendaftar di Akademi Film New York, dan sekarang, setelah menyelesaikan kuliahnya aku tidak terkejut bila kemudian ia langsung bekerja untuk sebuah industri perfilman di New York. Rick selalu tahu apa yang diinginkannya, dan ia selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Ia semacam inspirasiku ketika aku kecil, dan sampai saat ini.
    Rick juga yang mengajarkanku cara memukul anak yang lebih besar dariku dan suka menggangguku saat aku di tingkat tiga. Ia akan ‘menculikku’ ketika orangtuaku mencariku untuk memarahiku akibat kesalahan yang kulakukan, dan kami akan pergi membeli donat dan susu panas sampai amarah Mom atau Dad reda―saat Dad masih ada. Rick tidak pernah pergi dari sisiku saat Dad pergi meninggalkan kami saat usiaku sembilan tahun dan Rick empat belas, menjawab pertanyaanku dengan sabar mengenai mengapa Dad pergi dan kapan ia kembali―yang kemudian aku tahu bahwa ia berusaha menjelaskan secara halus bahwa Dad tak akan pernah kembali.
    “Kau serius ingin pulang bersamaku?” tanyaku, menahan senyumku. Kami hampir bersamaan melompat ke dalam Chrysler PT Cruiser tahun 2004 miliknya.
    “Kau bercanda?”
    “Kau akan melewatkan si vampir seksi.”
    “Kita bisa menyewa filmnya.”
    Oh yeah. Lihat siapa yang sekarang bicara.
    “Aku lebih suka manusia babi hutannya,” kataku memberi kontribusi.
    “Cam?” Kiersten melemparkan tatapan mencela padaku. “Itu tadi manusia serigala.”
    “Oh yeah benar. Manusia serigala.”
    Mengabaikan Kiersten yang memutar bola matanya, aku menyalakan mesin dan menjalankan mobil keluar lapangan parkir.
    Rick selalu begitu. Tiba-tiba muncul di depan pintu rumah. Sejak kuliah di New York ia tak pernah memberitahu kapan tepatnya waktu kepulangan pada Mom. Rick selalu suka memberi kejutan. Tapi terkadang ia bermurah hati memberitahukan kepulangannya padaku, tapi dengan syarat, jangan katakan apapun pada Mom. Ia sangat menikmati ekspresi terkejut dan senang menjadi satu di wajah Mom saat melihatnya sudah berada di rumah. Rick juga lebih senang naik taksi dari airport daripada menyuruhku menjemputnya, meskipun aku sudah menawarkan diri.
    Sementara menyetir aku bertanya-tanya pada diriku kira-kira apa yang dibawakan Rick untukku sehingga ia terdengar begitu girang tadi. Semoga sesuatu yang benar-benar bagus. Bukannya aku mengharapkannya dari saudara laki-lakiku, tapi tak ada salahnya kan memberiku oleh-oleh dari New York, kota besar yang tak pernah tidur, kota yang membuatku iri pada Rick karena dia lebih dulu meninggalkan Cary Town dan pergi kesana. Lagipula dia sudah bekerja. Meskipun masih sebagai pekerja dalam masa pelatihan, Rick memberitahuku kalau gajinya sudah lumayan. Ia pulang ke Cary setelah industrinya selesai menggarap film Angelina Jolie, dan akan kembali lagi ke New York saat produksi film baru akan dimulai.
    Ya, Angelina Jolie yang itu. Kau percaya itu?
    Setidaknya kuharap Rick akan membawakan aku tanda tangan beberapa di antara para bintang Hollywood itu.
    “Cam, kau percaya vampir?” tanya Kiersten tiba-tiba.
    Ya ampun. Jangan lagi.
    “Emm, tidak. Kenapa tiba-tiba menanyakan itu?”
    Kiersten menoleh padaku. “Tapi ada legenda yang menyatakan kalau mereka benar-benar ada.”
    “Internet?”
    “Yeah... kurasa.”
    Aku tertawa kecil. “Kurasa ada beberapa di Cina.”
    “Kau serius?” Kiersten terbelalak, membuatku tertawa lebih keras.
    “Yang sering muncul di tivi, mengenakan pakaian panjang dan topi hitam, kau tahu. Dengan tempelan kertas di keningnya.”
    Aku mengerang pelan saat Kiersten melayangkan tinjunya ke bahuku.
    “Tidak. Aku serius. Ada banyak legenda tentang vampir di internet. Mengenai makhluk penghisap darah, kau tahu. Beberapa negara menyebutnya drakula.”
    “Kiersten, aku tahu apa itu vampir,” sahutku. Woa, sahabatku sudah terkontaminasi demam vampir ganteng gara-gara film yang sedang diputar di bioskop sekarang ini.
    “Kau tidak percaya bahwa vampir itu ada?”
    Meskipun, ya, aku tidak percaya. Tapi haruskah ia membicarakannya saat ini? Ketika kami sudah melalui jalan besar dan sekarang melintasi jalan dengan diapit bukit dengan pepohonan yang lebat di malam hari? Bagaimanapun juga pembicaraan Kiersten mengenai makhluk penghisap darah membuatku sedikit paranoid, seganteng apapun penampilannya.
    “Kiersten, drakula atau vampir itu hanya sebuah kisah fiksi, yang terus dihidupkan sesuai perkembangan jaman karena―siapa sih yang tidak suka cerita horor.”
    “Bisakah kau bayangkan kalau mereka benar-benar ada? Di sini. Di Cary?”
    Aku mendesah lelah. Inilah yang terjadi kalau aku membiarkan Kiersten memilih film yang akan kami tonton. Dia suka menghidupkan tokoh-tokoh favoritnya dalam kehidupan nyata―dalam angan-angannya saja tentu saja―dan akan membahasnya sepanjang perjalanan keluar dari gedung bioskop. Biasanya aku hanya akan menanggapi dengan “Yeah” atau “Kau pikir begitu?” atau “Mungkin”.
    “Yeah, kurasa kau akan menjadi korban pertama jika mereka benar-benar ada di Cary.”
    “Menurutmu begitu?” tanya Kiersten padaku, nyaris terdengar kagum alih-alih takut.
    Ya ampun. Tentu saja tidak.
    Dalam hati aku bersyukur karena beberapa menit lagi aku akan sampai di rumah, dan Kiersten tidak harus meneruskan imajinasinya tentang vampir seksinya karena akan ada makhluk seksi lainnya yang akan mengalihkan perhatiannya. Yeah, menurut Kiersten kakakku....begitu. Tidakkah itu aneh? Maksudku, kenyataan bahwa sahabatku tergila-gila pada kakak kandungku?
    “Kenapa lampu jalan mati?” tanya Kiersten, melihat melalui kaca depan ke arah lampu-lampu jalan yang berderet di kanan kiri jalan. Jalanan menuju rumahku tidak bisa dibilang ramai, dan lumayan tidak menyenangkan bila malam-malam begini melewati jalanan yang gelap dan sepi. Hanya beberapa pejalan kaki yang kulihat melewati trotoar, hanya dengan bantuan sinar rembulan.
    Aku menyalakan lampu jalan. “Entahlah. Apakah ada pemadaman bergilir?” kataku, memperlambat laju mobil. Ini tidak asyik. Tidak ada yang suka pemadaman bergilir, dan sebelumnya tidak pernah seperti ini. Kecuali seseorang sengaja melakukan sesuatu pada gardu listrik di suatu tempat di daerah ini. Cary memang kota kecil, tapi bukan berarti kami tidak cukup banyak memiliki daya listrik untuk disalurkan ke semua wilayah.
    Seolah membaca ketidaknyamanan kami, satu demi satu lampu mulai menyala.
    “Wow,” ujarku.
    “Ini hanya perasaanku saja atau memang suasana membuatku merinding?” Kiersten memeluk tubuhnya sendiri.
    “Jangan mulai,” keluhku, dan menekan pedal gas.
    Kesalahan pertamaku adalah membiarkan diriku terbawa oleh omongan Kiersten. Sungguh, aku tidak pernah suka kegelapan. Kesalahan kedua adalah aku menekan pedal gas begitu lampu di sisi jalan di dekat mobil menyala sementara di bagian depan belum. Sehingga aku tidak melihatnya melompat di depan mobil kami.
    Kami berteriak bersamaan dan refleks aku menginjak rem kuat-kuat. Terimakasih pada sabuk pengaman sehingga tubuh kami tidak terlempar ke depan. Tetapi orang itu terlempar ke bagian depan mobil. Aku sempat melihat wajahnya yang pucat dan berdarah sebelum tubuhnya kembali jatuh ke aspal tepat di depan moncong mobil.
    “Ya Tuhan Ya Tuhan Ya Tuhan Ya Tuhan....” Kiersten berteriak panik sementara aku masih dalam keadaan shock. Kedua tangan mencengkeram roda kemudi, lengan kaku ke depan, punggung menempel jok, dagu ternganga lebar, dan mataku melotot tak percaya melewati kaca depan.
    Aku tidak percaya aku telah menabrak orang.
    “Apa yang kau lakukan?” jerit Kiersten padaku.
    “A―Aku tidak tahu,” aku balas berteriak. Dadaku berdebar keras. “D―Dia melompat begitu saja di depan mobil!”
    “Dia tidak melompat, Cam. Kau menabraknya!”
    “Siapa? Aku?” tanyaku tak percaya. “Oke, mungkin dia tidak melompat, tetapi dia menyeberang jalan sembarangan!”
    “Mungkin ia hanya tidak melihat mobil kita. Jalanan gelap!”
    “Yeah? Lalu bagaimana sekarang?”
    “Aku tidak tahu!” mata Kiersten sudah dipenuhi air mata. Kurasa aku melihat tangannya yang mencengkeram sisi kepalanya gemetar.
    Aku menghela napas dalam-dalam. Melihat ke kaca depan dan mengoreksi. Tak ada darah. Tapi aku jelas-jelas melihat sesuatu kemerahan di wajah orang itu sekilas. Itu sedikit membuatku lega. Tetapi kenyataan bahwa tak ada reaksi dari orang yang kutabrak, yang berarti mengindikasikan bahwa ia benar-benar sedang sekarat di bawah sana, membuatku kembali merasa tak berdaya. Bagaimana jika dia mati?
    “Cam? Apa yang kau lakukan?” Kiersten menatapku. Mata hijau besarnya nanar menatapku penuh ketakutan.
    “Aku akan memeriksanya,” kataku pelan, meskipun aku tidak melihat ada oranglain selain kami di sini.
    “Cam,” bisik Kiersten dan mencengkeram lengan jaketku saat aku menarik tuas pintu. “Jangan-jangan dia vampir.”
    Bahkan dalam situasi seperti ini aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak merasa konyol. “Kiersten! Kalau kau mengucapkan kata itu sekali lagi aku akan meninggalkanmu di jalan ini sendirian,” gertakku. “Kita harus memeriksanya, oke? Kita harus membawanya ke rumah sakit.” Mendengar apa yang kukatakan, cengkeraman Kiersten malah lebih kencang dari sebelumnya. “Kalau kau takut kau tidak perlu keluar. Tinggal di sini. Kunci pintu mobil. Kalau sesuatu terjadi padaku―” Sebentar. Aku ngomong apa sih. “Tinggal saja di sini, oke?”
    Kiersten mengangguk patuh.
    Aku menjejakkan kakiku ke jalan dengan hati-hati, tidak tahu mengapa. Mungkin aku terlalu gugup untuk mengetahui kenyataan bahwa aku baru saja membahayakan hidup seseorang.
    Suara kunci pintu mobil terdengar sesaat setelah aku menutup pintu. Ternyata Kiersten benar-benar mendengarkanku. Sepertinya ia benar-benar berniat meninggalkan aku diluar sini.
    Kakiku terasa kaku dan tidak bisa bergerak lagi saat melihat tubuh itu tertelungkup di aspal. Ya Tuhan, aku benar-benar telah membunuhnya.
    Perlahan aku berjongkok di dekat―yang kurasa adalah―kepala orang itu yang tertutup tudung jaket hijau lumutnya yang tampak lusuh.
    Kuulurkan tanganku dan bisa melihat jari-jariku bergetar saat lampu mobil menyinarinya. Kugoncang pelan bahunya. Tak ada reaksi. Kugoncang sedikit lebih keras sekali lagi. Masih tak ada reaksi.
    Hanya ada satu cara untuk mengetahui keadaannya.
    Kukuatkan hatiku dan berjalan ke samping tubuh orang itu, berjongkok, dan membalikkan badannya. Aku terkesiap.
    Wajah pria itu lebam-lebam. Aku tidak yakin lebam itu diakibatkan oleh tabrakan dengan mobil kami. Sudut bibirnya mengeluarkan darah. Sepertinya rahangnya sempat menghantam kaca depan mobil. Matanya terpejam rapat. Rambut coklat gelapnya yang gondrong dan berantakan mencuat dari balik tudungnya. Jambang tipis tumbuh subur seolah-olah ia sudah sekitar setengah bulan tidak mencukurnya.
    Satu hal yang membuatku lega: ia bukan vampir.
    Aku menelan ludah. Sekali lagi menguatkan hati saat menyentuh nadi di lehernya dengan jari-jariku. Please, bertahanlah, doaku dalam hati. Kulitnya dingin, bahkan sangat dingin di bawah kulitku, dan aku menemukan yang kucari: denyut nadinya.
    Tanpa menunggu lagi aku meraih ponsel di celana jinsku. Di saat seperti itu aku hanya bisa memikirkan satu orang.
    “Cam?” suara Rick terdengar setelah dering ketiga.
    “Rick? Kurasa aku baru saja membunuh seseorang di jalan.”

0 comments:

Post a Comment