• WHO-AM-I Boy (Sebuah cerita) Part 1

    CHAPTER 1 (Part 1)


    Peluit melengking membelah udara siang itu, dan aku tidak menunggu sedetik pun untuk melompat ke dalam air.
    “Ayo, Cam! Ayoooo.”
    Aku bisa mendengar teriakan sahabatku saat kepalaku muncul ke permukaan untuk mengambil udara, Kiersten, suaranya terdengar paling jelas di antara tepuk tangan yang menyemangati dari tepi kolam renang.
    Hup. Hup. Hup. Aku mengayuhkan tangan dan kakiku penuh konsentrasi. Meskipun mereka menyebutku hiu kolam, karena aku selalu lebih cepat dari siapapun di sekolah ini dalam berenang―sekalipun tanpa konsentrasi, aku punya alasan untuk berkonsentrasi penuh di kedalaman air dalam kondisi satu hal: hanya jika aku berenang melawan Sarah Cofer.
    Sebenarnya ini bukan semacam perlombaan renang atau semacamnya. Ini hanya jam olahraga dan Mrs. Ornstein, pelatih renang khusus murid perempuan, hanya ingin melihat sejauh mana kemampuan kami di cabang olahraga air. Ia bahkan tidak berniat melakukan penilaian hari ini, setidaknya sampai minggu depan. Intinya, kami hanya latihan pernapasan dan beberapa gerakan, atau kau menyebutnya gaya renang. Kami bahkan diizinkan bermain voli air seolah-olah kami sedang berada di pantai bukannya di kolam renang sekolah.
    Tidak ada yang namanya persaingan, karena ini bukan soal siapa yang mencetak waktu lebih sedikit―sampai Mrs. Ornstein memanggil namaku, Sarah Cofer, dan dua cewek lain dalam satu lap. Well, kita kan sedang dalam pelajaran olahraga renang, jadi harus ada yang berenang kan, dan kami berempat kebagian putaran pertama sebelum bel terakhir berbunyi dalam beberapa menit lagi.
    Kembali pada Sarah Cofer, aku bersumpah tak pernah berniat untuk bersaing dengannya, karena aku bukan tipe cewek seperti itu, atau tepatnya seperti dia. Tahu kan, jenis anak yang selalu ingin mendapatkan perhatian berlebih, yang harus selalu menjadi pemenang dalam hal apapun. Aku akan membiarkan Sarah Cofer mendapat perhatian dalam hal apapun, mengingat aku memang tidak hidup dengan gayanya―gaya hidup murid SMU yang mendapatkan keduanya: populer dan cantik. Gaya hidup murid-murid SMU yang masuk ke dalam kategori ‘yang diperhitungkan’ untuk diundang ke pesta-pesta para atlet, atau murid-murid populer lainnya. Aku sama sekali tidak berniat menjamah wilayah yang kau sebut ‘populer’. Karena menurutku, menjadi populer itu adalah soal siapa dirimu, bukan apa yang seharusnya kau lakukan untuk bisa menjadi begitu.
    Sarah Cofer adalah tipe kedua, yang akan melakukan apapun untuk menjadi pusat perhatian.
    Aku tidak pernah menjadi ‘yang diperhitungkan’, tetapi juga bukan termasuk golongan terbawah―tanpa bermaksud merendahkan (aku hanya tidak tahu padanan kata yang lebih cocok untuk menggambarkan anak-anak yang selalu terlihat tersingkirkan dalam pergaulan). Jadi jelas kan, kenapa aku sama sekali tidak pernah merasa bersaing dengan Sarah Cofer. Masalahnya adalah, Sarah Cofer akan mengambil setiap kesempatan untuk menjadi yang paling menonjol termasuk mengalahkanmu dalam hal-hal seperti ini―olahraga maksudku.
    Ia tahu aku cukup dikenal karena gerakanku yang gesit di dalam air. Percaya atau tidak, bahkan tak ada cowok di sekolah yang mampu mengalahkan aku. Yang menakjubkan dari semua itu adalah Sarah Cofer tidak mau mempercayai apa yang orang-orang percayai, yang tentunya berdasarkan fakta yang mereka lihat sendiri di lapangan. Dia terlalu keras kepala untuk membiarkan oranglain berpikir bahwa ada yang lebih hebat dari dirinya.
    Saat kami mengambil sikap siap melompat, Sarah sempat membisikkan “Waspadalah, Nicholson, aku berlatih tiga jam sehari dengan guru renang profesional di rumahku beberapa bulan terakhir ini”. Yang ingin kukatakan saat itu adalah “Memangnya kenapa?”―tapi pelatih Ornstein keburu meniup peluitnya. Sungguh, aku tidak peduli apa yang Sarah lakukan saat di rumah, dan kenapa sih dia pikir aku peduli?
    Aku menjejakkan kakiku kuat-kuat pada dinding kolam untuk menyelesaikan putaranku. Sarah bisa mendapatkan perhatian orang lain sebanyak ia mau, tapi aku tidak akan menyerah padanya untuk yang satu ini.
    Aku tidak berusaha melihat bagaimana keadaan Sarah yang berenang tepat di sampingku meskipun sebenarnya dengan mudah bisa kulakukan karena saat mengambil napas posisi wajahku akan menghadap ke arahnya. Tetapi aku tidak mau terfokus pada hal tidak penting seperti itu. Teriakan Kiersten sudah cukup mengganggu konsentrasiku.
    “Caaaaaaammm! Ayoooo Caaammmm!”
    Aku tidak bisa membayangkan bila aku benar-benar berada di arena pertandingan dengan Kiersten di salah satu kursi penonton. Saking bersemangatnya, aku yakin dia sampai akan salto dari tribun.
    Pelatih meniup peluitnya tanda satu orang telah berhasil menyelesaikan putarannya lebih dulu dari yang lain.
    “Kau masih yang terbaik, Cam.” Pelatih menepuk pundakku sementara aku terengah-engah mengatur napas dengan kedua siku berada di pinggiran kolam dan punggung menempel pada dinding kolam.
    “Tidak buruk, Sarah,” kata pelatih saat Sarah akhirnya menyentuh dinding kolam─sebagai urutan kedua tentu saja. Sayangnya, itu bukan pujian favorit seorang Sarah Cofer.
    Ia melemparkan pandangan sengit ke arahku. Aku sungguh tidak habis pikir. Apa sih masalahnya?
    “Kali ini aku membiarkanmu menang, Nicholson. Kau harus tetap waspada,” katanya tajam saat pelatih sedang memberi pengarahan pada dua temanku yang lain tentang gerakan yang lebih mantap selama di air.
    “Yeah, waspada bokongmu.” Kiersten sudah berjongkok di tepi kolam, tepat di belakang kepalaku.
    Rahang Sarah terbuka, melemparkan pandangan jijik ke arah sahabatku. Kemudian ia keluar dari air, sengaja mencipratkan air ke arah kami.
    “Hei! Hati-hati, ikan badut!” protes Kiersten.
    Aku meludahkan air kolam yang masuk ke mulutku―terima kasih pada Sarah―dan mengangkat tubuhku keluar dari air.
    “Aku sangat suka melihat wajah Sarah saat ia merasa dikalahkan.” Kiersten cekikikan. Baginya, tak ada yang lebih menyenangkan daripada melihat temanmu yang jahat ditimpa sial―maksudku, teman secara teknis. Selama hampir empat tahun masa SMU, Kiersten hanya menghabiskan waktunya denganku, begitu juga denganku.
    “Hei. Habis ini giliranmu,” kataku seraya duduk di bangku yang berderet di sepanjang tepi kolam dan mencari handuk di dalam tas parasit anti airku. Aku melepas pelindung kepala dan menjejalkannya ke dalam tas―kami memiliki seragam olahraga renang, pakaian renang one piece dan pelindung kepala―semuanya berwarna biru (celana biru-hitam untuk laki-laki), jika kami tidak baik-baik menyimpannya atau memberi tanda atau nama pada masing-masing punya kami, akan beresiko tertukar dengan yang lain.
    “Yeah, katakan kalau aku peduli soal itu,” kata Kiersten, memutar bola matanya dan duduk di sebelahku.
    Aku mendengus. Ia memang tidak pernah benar-benar menaruh perhatian pada setiap mata pelajaran. Tapi jangan salah, ia akan belajar pada saat akan ujian dan mendengarkan saat guru menerangkan. Saat tidak ada ujian atau apakah dia benar-benar menyerap apa yang diterangkan, itu soal lain.
    “Hei. Kita akan kemana liburan musim panas ini?” tanya Kiersten.
    Sebelum liburan musim panas yang resmi selama bulan Agustus, sekolah selalu mengadakan piknik atau semacam tur sekolah. Untuk kehidupan di kota kecil seperti dimana kami tinggal sekarang ini―bagian kecil dari North Carolina―acara tur sekolah untuk kelas senior sangat ditunggu-tunggu. Dan lagi, kepala sekolah kami menekankan yang namanya ‘kerbersamaan’. Selalu. Semangat kebersamaan yang menyatukan kami dan memperkuat sekolah kami dengan dasar pendidikan yang bermutu dan beretika. Kami semua hafal sekali dialog itu. Beliau selalu mengatakan hal yang sama di setiap pidato di aula sekolah.
    “Entahlah,” jawabku seraya menggosok rambut coklat pendekku dengan jari-jari tanganku. Rambutku tidak sulit diatur. Aku hanya perlu menggosokkan jari-jari tanganku ke kepalaku atau menyisirnya dengan jari-jariku dan ia akan rapi kembali.
    “Apa kita akan pergi ke luar North Carolina?” tanya Kiersten lagi penuh harap.
    “Aku tidak tahu.” Aku mengangkat bahu. “Kenapa kau tidak tanyakan sendiri pada kepala sekolah?” Alasan aku bertanya seperti ini adalah karena aku tahu, seperti semua siswa dan siswi sekolah ini tahu, alasan mereka menanyakan pertanyaan-pertanyaan semacam ini padaku. Aku bahkan tahu apa yang akan dikatakan Kiersten selanjutnya sebelum ia membuka mulutnya.
    “Ayolah, kau kan bisa menanyakannya untuk kami pada ibumu.”
    Yap. Kepala sekolahnya adalah ibuku sendiri. Kepala sekolah Tessa Nicholson.
    Dan perkataan semacam ini nyaris kudengar setiap hari, tidak terkecuali sahabatku sendiri. Karena ia cukup punya malu untuk menanyakannya sendiri pada ibuku untuk ukuran orang yang tidak pernah mengetuk pintu ketika bertamu ke rumahku. Orangtua kami dekat akibat kedekatan kami, dan kami sudah seperti anak sendiri bagi masing-masing keluarga, Kiersten bagi keluargaku dan aku bagi keluarga Kiersten. Tapi hal itu tidak mengurangi rasa hormat Kiersten pada ibuku sebagai murid di sekolah yang beliau pimpin.
    “Mom tidak berkata apa-apa.” Aku bangkit, mencengkeram kedua sisi handuk di depan dadaku agar tidak merosot dari bahuku saat aku membungkuk mengambil tas parasitku―dan juga untuk menyembunyikan apa yang ada di balik baju renangku mengingat para murid cowok bertebaran di area kolam khusus cowok di sebelah kolam para murid cewek dan melakukan ‘serangan tatapan menilai’ sementara Mr. Andreas, pelatih renang khusus cowok, meneriakkan instruksi-instruksi.
    “Itu karena kau tidak bertanya,” desak Kiersten, mengikutiku berjalan ke ruang ganti.
    Demi Tuhan. Apa mereka pikir aku menghabiskan waktu di rumah dengan ibuku hanya untuk membicarakan sekolah?
    “Akan lebih menyenangkan kalau aku mengetahuinya di detik-detik terakhir seperti murid pada umumnya. Ini akan menjadi semacam kejutan.”
    “Aku lebih senang mengetahuinya jauh-jauh hari agar aku bisa mempersiapkan diri.”
    Aku melemparkan pandangan maaf-kau-apa pada Kiersten.
    “Yeah, kau tahu,” lanjutnya, menyelipkan seberkas rambut pirang madunya ke dalam topi pelindung, “seperti mulai melakukan olahraga untuk mengencangkan otot perut dan kakiku kalau kita akan pergi ke pantai.”
    “Jangan lupa bikininya,” kataku sarkatis, dan dengan tidak percaya saat ia menjawab “Ya, jangan lupa soal bikini.”
    Tawaku nyaris menyembur mendengar pengakuannya. Kiersten tidak gemuk ataupun kurus, bisa dibilang...berisi, tapi juga tidak bisa dibilang proporsional―menurut dia. Dia merasa bahu, tungkai, paha dan pinggulnya besar, dan dia sudah menjalankan program diet selama beberapa bulan terakhir. Sayangnya, ia tidak berusaha mengimbanginya dengan olahraga. Tapi dia baik-baik saja. Maksudku, dia tampak sehat. Tidak tampak seperti penderita anoreksia seperti Sarah Cofer, atau kelebihan berat badan. Yang lucu adalah, minggu lalu ia bilang tidak keberatan mengenakan baju renang one piece dan tidak peduli apa kata orang nantinya, tapi kurasa sesi renang dimana perhatian para cowok cukup jelas mengarah ke cewek yang mana, cukup membuatnya menyadari sesuatu.
    “Ayolah, Cam. Tanyakan pada ibumu ya? Demi aku.” Ia mulai memohon.
    “Aku tidak mau.”
    “Cam!”
    “Kiersten Skutch!”
    “Pelatih memanggilmu.” Aku memperingatkannya.
    “Hanya kalau kau berjanji padaku satu hal.”
    “Tidak, Kiersten!”
    “Kiersten Skutch!”
    “Kau gila ya!” aku mendorong bahunya karena dia terus mengekoriku dan tidak mempedulikan panggilan pelatih.
    “Cam. Aku tidak mau menghabiskan sisa SMU-ku tanpa catatan ‘belum pernah pacaran’.”
    “Oh, itu bukan urusanku.”
    “Yeah, agar kau ada temannya sebagai penyandang gelar ‘perawan SMU’”
    “Kiersten!” aku melotot padanya tak percaya.
    “Kiersten Skuuuuuuutch!”
    “Di sini!” Teriakku pada pelatih dari seberang kolam dan mendorong Kiersten ke dalam air. “Dia sudah di dalam air, Pelatih!”
    Kepala Kiersten muncul di permukaan air dengan terengah-engah. Ia menggosok wajahnya sedikit panik karena tidak ada persiapan pernapasan apapun sebelum masuk ke air. “Sialan kau, Cam!”
    Aku tertawa dan masuk ke dalam ruang ganti.

0 comments:

Post a Comment