• Wanita yang Pernah Membuatku Kesal

    Aku menunggu dengan jenuh pesawat tujuan Surabaya ini yang tengah delay sekitar satu jam lamanya. Malam itu aku tidak bisa mengeluh karena cuaca memang sedang tidak baik. Lebih baik terlambat daripada terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dalam perjalanan nanti. Toh ini hanya perjalanan liburan, bukan perjalanan bisnis yang pasti sangat mengutamakan ketepatan waktu. Orang-orang yang juga sedang menunggu bersamaku di ruangan ber-AC yang teramat dingin ini juga tengah menyibukkan diri. Antara melupakan kedinginan dan menghabiskan waktu menunggu yang membosankan. Mereka mendengarkan musik, menonton televisi, memainkan gadget, bahkan terlelap. Tiba-tiba ada pesan masuk di ponselku.
    Ah, wanita ini. Kali ini aku punya alasan untuk mengeluh. Ada apa lagi dia menghubungiku?
    Ia menanyakan kabarku, seperti biasa jika dia memulai obrolan. Sesuatu yang klise yang ujung-ujungnya aku tahu akan berbuntut sama juga. Tapi meskipun begitu tetap kujawab saja, juga klise, menjawab baik-baik saja dan balik menanyakan kabarnya.
    Akhirnya dia mulai masuk ke dalam topik. Percakapan yang sebenarnya lebih baik kuhindari karena hanya menimbulkan tekanan di dalam dadaku. Intinya sama saja, ia ingin membicarakan tentang seorang lelaki. Lelaki yang pernah ia klaim sebagai miliknya dan pernah ia tuduhkan padaku telah diganggu olehku, setidaknya secara tidak langsung.
    Bukan hanya sekali ini dia menghubungiku. Seolah-olah ia menari-nari di dalam bayangan ketakutannya sendiri. Ketakutan yang menurutnya diciptakan olehku. Ia merasa tidak aman, ia merasa rapuh sekalipun berkali-kali ia yakinkan padaku bahwa ia baik-baik saja, keinginannya untuk terus ingin tahu mengenai diriku sudah menjelaskan segalanya bahwa sebenarnya ia sedang berbohong pada dirinya sendiri.
    Bagaimana perasaanmu padanya? Aku ingin tahu.” Setidaknya begitu inti pesannya. Aku tidak mengerti, mengapa aku harus mengatakan bagaimana perasaanku terhadap seseorang pada oranglain? Jangankan padanya, jika ada oranglain yang ingin tahu urusan pribadiku mungkin aku tidak akan menjawabnya.
    Kukatakan padanya untuk tidak perlu menyeret-nyeret aku ke dalam masalahnya. Untuk bertanggung jawab pada hubungan yang sedang ia jalani sendiri. Untuk dengan berbesar hati introspeksi diri alih-alih mencari-cari kesalahan oranglain. Entahlah, mungkin ia merasa aman jika ia putus dengan lelakinya karena alasan orang ketiga, jadi ia tidak perlu merasa bersalah jika seandainya ia yang memutuskan hubungan mereka.
    Pesan-pesan terus masuk karena aku tidak memberikan jawaban yang memuaskan untuknya. Bukan hanya hari ini saja ia begitu. Topik yang sama juga pernah ia bahas beberapa waktu lalu. Beginilah jika ia menghubungiku, tiba-tiba datangnya, dan sekali menghubungi hanya membahas masalah-masalah yang sama yang bahkan aku tidak tahu menahu asal muasalnya. Mungkin ia tidak sadar, bahwa oranglain juga punya kehidupan sendiri. Apa ia berpikir bahwa aku berjalan di bumi ini hanya memikirkan urusan oranglain dan urusan hati? Bagaimana bisa dia mengatur-ngatur dengan siapa oranglain harus bersama dan bahagia? Bagaimana bisa dia merasa yang paling tahu apa yang terbaik bagi oranglain? Bagaimana bisa ia berpikir seenaknya saja menyeret-nyeret oranglain yang tidak tahu apa-apa ke dalam urusannya dan menjadi kambing hitam? Sesabar apapun aku mencoba menjelaskan padanya untuk menghadapi dan menyelesaikan masalahnya sendiri dengan dewasa hanya ia dengarkan seperi angin lewat. Tak henti-hentinya ia menggangguku dengan pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pertanyaan yang oh-so-drama-queen.
    Ya. Aku terganggu. Dan berkali-kali aku hampir kelepasan untuk berteriak padanya untuk berhenti menghubungiku karena saking kesalnya. Tetapi untuk apa? Seseorang yang hidup dalam ketakutannya sendiri tidak akan mendengar apa-apa kecuali suara yang ada di dalam kepalanya sendiri. Ia tak mau dengar. Menurutnya ia yang paling tahu. Menurutnya ia yang paling dirugikan di sini. Menurutnya ia berhak untuk menghakimi oranglain. Menurutnya ia yang palin benar. Menurutnya ia adalah Miss of Anything. Menurutnya. Karena ia lupa bahwa oranglain juga punya pendapat sendiri, punya kehidupan sendiri, dan ia bukan Tuhan yang mengendalikan bagaimana hidup manusia harus berjalan.
    Wanita itu, aku mengerti bagaimana terlukanya dirimu. Kamu berpikir bahwa luka itu disebabkan olehku, tetapi sebenarnya kamulah yang melukai dirimu sendiri. Tidak ada gunanya melibatkan oranglain dalam masalahmu untuk disalah-salahkan. Kamu bermain dengan pikiran-pikiranmu sendiri, prasangka-prasangka buruk yang tidak hanya merugikan oranglain tetapi juga dirimu sendiri. Aku tidak pernah berniat menyakiti siapapun, atau merebut sesuatu darimu seperti yang kau tuduhkan. Tuhan tahu dimana aku berada saat kau pikir aku sedang bersamanya. Tuhan tahu aku bagaimana saat kau kira aku pasti merayunya dan mempengaruhinya. Tuhan lebih tahu apa yang kupikirkan dan kurasakan jauh lebih baik dari yang kau tahu. Dan Tuhan tahu apa yang kita butuhkan, meskipun itu bukan yang kita inginkan.
    Jadi, Wanita, aku akan meminta maaf padamu, bukan karena alasan-alasan yang kau pikir kulakukan, melainkan karena menurutmu akulah yang menjadi duri dalam dagingmu. Kau berhak marah padaku, aku pun berhak untuk menjalani hidupku sendiri tanpa aturan siapapun. Bagaimana pun juga kau pikir akulah penyebab luka hatimu. Berprasangka baiklah kepada oranglain jika kau ingin oranglain juga berprasangka baik padamu. Sadarilah bahwa ada yang lebih berkuasa di atas sana untuk mengatur apa yang akan terjadi dan tidak boleh terjadi di dunia ini, bukan kau atau aku. Cobalah untuk melihat ke dalam dirimu lebih dulu sebelum menunjuk keburukan oranglain. Orang yang kuat dan berani bukan orang yang hanya bisa mengatakan “aku baik-baik saja”, melainkan yang mau bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
    “Apa yang sedang kau lakukan, Re?” ibu menepuk pundakku. “Jadwal penerbangan kita sudah tiba.”
    Kumatikan ponselku dan kumasukkan ke dalam saku. “Hanya membalas pesan seorang kawan,” jawabku. “Seorang wanita yang mengesalkan tetapi aku tidak bisa tidak peduli padanya.”
    “Kenapa?”
    “Karena ia juga seorang wanita. Sepertiku.” Aku menjawab pelan.

0 comments:

Post a Comment